Panggil Aku Kartini Saja
Sepenggal
kata yang terucap dari bibir seorang perempuan yang bergelar R.A.
Kartini, panggil aku, Kartini saja!. Film Kartini karya besutan
sutradara Hanung Bramantyo yang familiar mengangkat tema-tema dan
tokoh-tokoh serta kisah-kisah kepahlawanan dalam filmnya. Di bulan April
ini yang merupakan momen, bertepatan memperingati Hari Kartini pada
tanggal 21 April, kembali mempersembahkan karya. Mulai tanggal 19 April
2017, secara serentak di bioskop tanah air segera memutar film
tersebut.
'Sisi lain'
terangkat oleh sang sutradara dalam membuat film Kartini 'lebih ringan'
untuk dinikmati. Kesan 'berat' pada khalayak ramai terhadap film yang
bersentuhan dengan sejarah. Oleh Hanung Bramantyo seakan menunjukkan
keberhasilan dalam 'menangkap' kesan tersebut, terkhusus penikmat film.
Demikian melalui 'penggalian' lebih dalam akhirnya menemukan 'sisi lain'
dari Pahlawan Nasional Perempuan, R.A. Kartini yang berasal dari
Jepara. Panggil aku, Kartini saja!, tak banyak yang tahu bahwa seorang
R.A. Kartini terlahir dari seorang Ibu kandung yang bukan dari kaum
bangsawan atau ningrat di zaman dulu, itu.
Perjuangan
dalam mewujudkan emansipasi perempuan di kala itu, tak terlepas dari
latar belakang kehidupan keseharian beliau. Perubahan-perubahan yang
diinginkan oleh beliau pun berasal dari pandangan mata yang secara
langsung menyaksikan perbedaan perlakuan terhadap kaum bangsawan atau
ningrat dan kaum kebanyakan. Tak terkecuali beliau yang memperoleh
perlakuan khusus sebagai salah satu putri Bupati Jepara dengan gelar
R.A. (Raden Adjeng atau Raden Ayu). Sebagai perempuan Jawa, R.A. Kartini
pembawa perubahan dalam membuka pendidikan modern khususnya bagi
perempuan-perempuan Jawa.
Perjuangan
seorang R.A. Kartini memberi inspirasi bagi sutradara bahwa siapapun
itu membutuhkan 'seseorang' dalam mewujudkan harapan, keinginan dan
cita-cita. R.A. Kartini pun demikian yang oleh Hanung Bramantyo
menampilkan sosok-sosok yang berada dan hadir di sekeliling beliau.
Tersebut R.A. Kardinah dan R.A. Roekmini yang juga merupakan putri-putri
bupati Jepara. Tradisi 'pingitan' dengan segala 'keterbatasan' melekat
kuat yang diterapkan. Keseharian berada dalam kediaman berupa benteng
yang berdinding kokoh terlepas dari 'hirup-pikuk' kehidupan luar,
sekitar.
R.A. Kartini
yang 'terbelenggu' dalam tradisi yang akhirnya 'berontak' menemukan jati
diri bahkan menjadi diri sendiri. Ruang yang terbatas tak membawa
pemikiran terbatas bahkan 'menembus batas' pemikiran terkhusus bagi kaum
perempuan. Tak lain dan tak bukan oleh kemauan untuk belajar membaca
dan menulis akhirnya akrab di keseharian R.A. Kartini. Menemukan
cendekia-cendekia dari kaum perempuan melalui buku-buku. Motivasi dan
inspirasi tak serta merta hadir dari diri sendiri R.A. Kartini dalam
mengawali gerakan perubahan-perubahan. Panggil Aku, Kartini saja! Di
tengah mempertahankan garis 'keturunan' gelar kebangsawanan atau ningrat
dalam kehidupan terdekat keseharian R.A. Kartini.
Akhirnya
perjuangan R.A. Kartini tak pernah mati, tanggal kelahiran beliau
diperingati serial tahun sebagai Hari Kartini, 21 April. Terkhusus bagi
kaum-kaum perempuan setanah air tercinta semakin mengenal 'lebih dekat'
dengan sosok R.A. Kartini, cinta sejarah bangsa.