Ritual Dupa
Hening sejenak seiring rapalan
doa-doa yang dibaca oleh seorang kakek, bersarung dan berpeci sambil duduk bersila
memimpin ritual dupa. Aku pun turut serta menyaksikan kakek tersebut yang
merupakan sosok yang sudah menjadi ‘pembaca’ doa khusus bagi Ibu selama ini. Aku
tertarik perihal ritual dupa, aroma wangi kemenyan yang tercium dan menyengat
menusuk hidung. Berasal dari dalam salah satu ruangan di suatu rumah yang
kudiami, rumah tua dan cukup besar. Terletak di pojok jalan setapak, sebagai rumah
peninggalan dari Ayah yang telah pergi sejak sepuluh tahun yang lalu.
Tersebutkan olehku kini, rumah tanpa lelaki yang sejak kepergian Ayah sekian lama.
Pasca panen raya, hasil panen yang melimpah
akhirnya dapat dinikmati bersama. Luapan rasa syukur tak terkira yang
mengundang Ibu pun mempersiapkan ritual dupa. Aroma dupa Ibu yang berasal dari
kemenyan yang di letakkan dalam wadah dupa tercium kembali dari dalam rumah.
Ibu pun tak melakukan ritual dupa lagi berbeda ketika Ayah masih hidup, tak
pernah lelah melakukan ritual dupa sebagai ungkapan rasa syukur. Bagaimana
tidak?” Perbedaan pandangan dalam memandang cara mengucapkan rasa syukur oleh
karena kehadirat-Nya. Seperti biasa hanya ‘gertak sambal’ yang terdengar dari
mulut sang Ayah dan tak ampuh mengalihkan pandangan Ibu.
Ritual dupa dalam mengarungi
kehidupan pun tanpa sepengetahuan Ayah, tetap berlangsung. Bak ‘darah daging’
yang telah menggumpal kuat dan kokoh enggan terlepas bahkan tercabut dari ‘akar’ sanubari Ibu. Ibu pun tak rela
melepaskan kebiasaan turun-temurun dari leluhur sampai kini terbawa. Sampai
akhirnya berpulang Ayah ke pangkuan Ilahi dan tak serta merta ritual dupa
terhenti. Tak seperti dulu, ketidakseringan
ritual dupa justru terjadi di saat Ayah tak ada lagi, padahal alangkah leluasa
dapat berlangsung tanpa halangan.
Ada apa gerangan?” Entah, hanya Ibu
yang tahu.
Lama tak terlihat, akhirnya ritual
dupa kembali berlangsung dengan wadah dupa yang bukan terbuat dari tanah liat. Tak
seperti dulu, wadah dupa yang terbuat dari kuningan berada digenggaman dan
diisi dengan potongan-potongan kayu kecil serta sabut kelapa, lalu dibakar. Sebagai
material yang mudah terbakar, meskipun demikian akan di beri sedikit siraman
minyak tanah. Perbedaan wadah dupa pun mengundang tanda tanya pada diriku
sendiri.
Apakah sesuai peruntukkan upacara
keagamaan atau pengobatan ?”
Akh … entah, aku berguman.
Berlangsung pembakaran awal sampai
akhirnya terlihat api membumbung dari dalam wadah dupa. Aku pun, ketika pertama
kali menyaksikan ritual dupa berlangsung menghadirkan rasa was-was. Rasa takut
tersentuh oleh nyala api sekiranya meletakkan wadah dupa pun dan mengangkat
wadah dupa. Menjauh sejenak dari wadah
dupa demi menghindari hal-hal yang tanpa disadari rawan resiko tersentuh
‘jilatan’ api. Potongan-potongan kayu kecil
beserta sabut kelapa pun ikut
terbakar. Sedikit demi sedikit terlihat nyala api yang menyisakan bara-bara api
dengan asap-asap mengepul tipis. Membuat sabut kelapa dan potongan kayu-kayu
kecil sampai habis terbakar.
Menempatkan akhirnya wadah dupa ke
ruangan yang telah ditentukan sebelumnya. Tak lupa, tetap menjaga agar
bara-bara api tak hilang yang akhirnya hanya menyisakan arang pembakaran.
Berlangsungnya ritual dupa ditandai dengan proses pembakaran yang dibiarkan
terjadi secara alami, sejenak seiring waktu berjalan. Ritual pengobatan. asap
membumbung tak dihiraukan demi rapal-rapal doa yang diucapkan untuk kesembuhan
pemuda itu. Bersama merapalkan doa-doa.yang selanjutnya makan bersama dari
sajian makanan dan lauk pauk serta minuman yang tergelar dibaki-baki. Baki
khusus pun tersaji pada ruangan tertentu yang dianggap sebagai pusat
pertengahan bagian dalam rumah.
Komat-kamit mulut seorang kakek
yang membaca rapal-rapal doa yang melakukan pengobatan kepada seorang pemuda
kampung Didera penyakit sejak kecil, dari dulu menjadi bawaan dan tanpa di
sadari kambuh setiap saat.. Terdengar selentingan kabar, oleh karena
ketidakteraturan makan bahkan terkadang
mengabaikan perut yang keroncongan. Bahkan puncak dari keteledorannya yang
akhirnya memanggil penanganan serius dari team medis ketika secara tiba-tiba
gejala keracunan pun hinggap dengan rasa mual disertai muntah.
Alternatif pengobatan pun di sentuh
demi kesembuhan,dengan melakukan ritual dupa. Tanpa sengaja aku menemukan
kemenyam Ibu yang tersimpan sejak lama. Tak pernah terpikirkan olehku bahwa
sesuatu yang selama ini asing, terlihat olehku. Kemenyan, bahkan memberi kesan
yang tertinggal sebagai sesuatu yang ‘keramat’ atau ‘angker’. Ritual dupa pun
membutuhkan kemenyam yang dimasukkan ke dalam wadah dupa yang berbara api . Terlihat, seperti batu yang
telah pecah-pecah meskipun tak seperti kerikil namun agak lebih besar dari
kerikil, sejumput gula pasir pun ikut dimasukkan dalam wadah dupa. Sedikit yang Aku ketahui perihal ritual
dupa, sampai akhirnya mencari dan mempertanyakan.
Sejenak pikiran liarku melanglang
buana yang membuka memori ketika menerima ‘oleh-oleh dupa berupa ‘kembang api’.
Dupa lidi (Incense Stick) dari Tanah
Suci Mekkah yang seperti lidi-lidi yang panjang dan ujungnya dibalut dengan
bahan dupa. Tercium aroma wangi yang cukup lama bertahan ketika aku menyimpan
dupa itu dalam lemari. Ibu pun tak lupa membawa pulang ‘oleh-oleh’ dupa bak
lidi itu untuk di berikan kepada siapa pun.
Banyak upacara keagamaan
menggunakan dupa. Dupa juga digunakan untuk pengobatan. Dupa ada dalam berbagai
bentuk dan proses. Namun dupa dapat terbagi menjadi ‘pembakaran langsung’ dan
pembakaran tidak langsung’ tergantung bagimana dupa digunakan. Suatu bentuk
tergantung dari budaya, tradisi dan rasa seseorang. Dupa atau hio atau kemenyan
adalah sebuah material yang mengeluarkan bau yang mengeluarkan bau yang mengeluarkan asap
ketika dibakar.
Mempergunakan
dupa dalam keseharian olehku yang berupa dupa lidi itu, sekiranya persediaan
yang cukup banyak. Berbeda dengan dupa kemenyam yang tak pernah terjamah olehku
untuk dipergunakan dalam keseharian. Aroma wangi dupa pun lebih tercium olehku
dibandingkan dengan dupa kemenyam yang disimpan oleh Ibu. Tak kutemui lagi dupa
kemenyam, Entah … Hanya Ibu yang tahu sekiranya masih tersimpan, mencari atau
menemukan tanpa sengaja.
Apakah
aku ingin melanjutkan Ritual Ibu?” Akh, aku berguman
Kebersamaan yang terlalui bersama Ibu pun,
membawa aku sejenak merenungi kebiasaan Ibu. Tak dipungkiri akhirnya apabila
sekiranya sebagai penerus Ibu pun terbersit melanjutkan tradisi ritual dupa.
Meskipun demikian sebuah perjalanan hidup oleh waktu yang menemani setiap insan
tak serta merta siapapun tahu sebuah tradisi akan hidup terus atau bahkan mati.
Seyogyanya mahluk tak pernah luput dari kata binasa akhirnya dan membutuhkan
ketahanan diri agar terhindar dari kepunahan.
Ritual
dupa tak sering lagi berlangsung yang akhirnya seiring waktu berjalan seakan
redup di kekinian, tak seperti biasa lagi, lazim pada momen-momen, waktu-waktu
tertentu. Aku pun tak menemukan dupa namun wangi dupa seakan tercium di
kekinian. Wadah Dupa kini tergeletak entah dimana … ritual tak lagi berlangsung terkikis oleh waktu dan
terlupakan oleh gerak kehidupan yang tanpa jeda.
–Selamat Membaca-
Pengobatan tradisional, ya. Apa masih ada yang menjalankannya?
BalasHapusIya, Masih ada.
HapusTelah ikut bedah cerpen oleh Pecandu Aksara,Tipografi 'typo' dan tanda baca diperhatikan untuk hasil karya terbaik.
BalasHapus