Minggu, 25 Desember 2016

CERPEN



Ritual Dupa

Hening sejenak seiring rapalan doa-doa yang dibaca oleh seorang kakek, bersarung dan berpeci sambil duduk bersila memimpin ritual dupa. Aku pun turut serta menyaksikan kakek tersebut yang merupakan sosok yang sudah menjadi ‘pembaca’ doa khusus bagi Ibu selama ini. Aku tertarik perihal ritual dupa, aroma wangi kemenyan yang tercium dan menyengat menusuk hidung. Berasal dari dalam salah satu ruangan di suatu rumah yang kudiami, rumah tua dan cukup besar. Terletak di pojok jalan setapak, sebagai rumah peninggalan dari Ayah yang telah pergi sejak sepuluh tahun yang lalu. Tersebutkan olehku kini, rumah tanpa lelaki yang sejak kepergian  Ayah sekian lama.

Pasca panen raya, hasil panen yang melimpah akhirnya dapat dinikmati bersama. Luapan rasa syukur tak terkira yang mengundang Ibu pun mempersiapkan ritual dupa. Aroma dupa Ibu yang berasal dari kemenyan yang di letakkan dalam wadah dupa tercium kembali dari dalam rumah. Ibu pun tak melakukan ritual dupa lagi berbeda ketika Ayah masih hidup, tak pernah lelah melakukan ritual dupa sebagai ungkapan rasa syukur. Bagaimana tidak?” Perbedaan pandangan dalam memandang cara mengucapkan rasa syukur oleh karena kehadirat-Nya. Seperti biasa hanya ‘gertak sambal’ yang terdengar dari mulut sang Ayah dan tak ampuh mengalihkan pandangan Ibu.

Ritual dupa dalam mengarungi kehidupan pun tanpa sepengetahuan Ayah, tetap berlangsung. Bak ‘darah daging’ yang telah menggumpal kuat dan kokoh enggan terlepas bahkan tercabut  dari ‘akar’ sanubari Ibu. Ibu pun tak rela melepaskan kebiasaan turun-temurun dari leluhur sampai kini terbawa. Sampai akhirnya berpulang Ayah ke pangkuan Ilahi dan tak serta merta ritual dupa terhenti.  Tak seperti dulu, ketidakseringan ritual dupa justru terjadi di saat Ayah tak ada lagi, padahal alangkah leluasa dapat berlangsung tanpa halangan.
Ada apa gerangan?” Entah, hanya Ibu  yang tahu.

Lama tak terlihat, akhirnya ritual dupa kembali berlangsung dengan wadah dupa yang bukan terbuat dari tanah liat. Tak seperti dulu, wadah dupa yang terbuat dari kuningan berada digenggaman dan diisi dengan potongan-potongan kayu kecil serta sabut kelapa, lalu dibakar. Sebagai material yang mudah terbakar, meskipun demikian akan di beri sedikit siraman minyak tanah. Perbedaan wadah dupa pun mengundang tanda tanya pada diriku sendiri.
Apakah sesuai peruntukkan upacara keagamaan atau pengobatan ?”

Akh … entah, aku berguman.

Berlangsung pembakaran awal sampai akhirnya terlihat api membumbung dari dalam wadah dupa. Aku pun, ketika pertama kali menyaksikan ritual dupa berlangsung menghadirkan rasa was-was. Rasa takut tersentuh oleh nyala api sekiranya meletakkan wadah dupa pun dan mengangkat wadah dupa.  Menjauh sejenak dari wadah dupa demi menghindari hal-hal yang tanpa disadari rawan resiko tersentuh ‘jilatan’ api. Potongan-potongan kayu kecil  beserta sabut kelapa pun  ikut terbakar. Sedikit demi sedikit terlihat nyala api yang menyisakan bara-bara api dengan asap-asap mengepul tipis. Membuat sabut kelapa dan potongan kayu-kayu kecil sampai habis terbakar.

Menempatkan akhirnya wadah dupa ke ruangan yang telah ditentukan sebelumnya. Tak lupa, tetap menjaga agar bara-bara api tak hilang yang akhirnya hanya menyisakan arang pembakaran. Berlangsungnya ritual dupa ditandai dengan proses pembakaran yang dibiarkan terjadi secara alami, sejenak seiring waktu berjalan. Ritual pengobatan. asap membumbung tak dihiraukan demi rapal-rapal doa yang diucapkan untuk kesembuhan pemuda itu. Bersama merapalkan doa-doa.yang selanjutnya makan bersama dari sajian makanan dan lauk pauk serta minuman yang tergelar dibaki-baki. Baki khusus pun tersaji pada ruangan tertentu yang dianggap sebagai pusat pertengahan bagian dalam rumah.

Komat-kamit mulut seorang kakek yang membaca rapal-rapal doa yang melakukan pengobatan kepada seorang pemuda kampung Didera penyakit sejak kecil, dari dulu menjadi bawaan dan tanpa di sadari kambuh setiap saat.. Terdengar selentingan kabar, oleh karena ketidakteraturan makan bahkan terkadang   mengabaikan perut yang keroncongan. Bahkan puncak dari keteledorannya yang akhirnya memanggil penanganan serius dari team medis ketika secara tiba-tiba gejala keracunan pun hinggap dengan rasa mual disertai muntah.

Alternatif pengobatan pun di sentuh demi kesembuhan,dengan melakukan ritual dupa. Tanpa sengaja aku menemukan kemenyam Ibu yang tersimpan sejak lama. Tak pernah terpikirkan olehku bahwa sesuatu yang selama ini asing, terlihat olehku. Kemenyan, bahkan memberi kesan yang tertinggal sebagai sesuatu yang ‘keramat’ atau ‘angker’. Ritual dupa pun membutuhkan kemenyam yang dimasukkan ke dalam wadah dupa yang  berbara api . Terlihat, seperti batu yang telah pecah-pecah meskipun tak seperti kerikil namun agak lebih besar dari kerikil, sejumput gula pasir pun ikut dimasukkan dalam wadah dupa.  Sedikit yang Aku ketahui perihal ritual dupa, sampai akhirnya mencari dan mempertanyakan.

Sejenak pikiran liarku melanglang buana yang membuka memori ketika menerima ‘oleh-oleh dupa berupa ‘kembang api’.  Dupa lidi (Incense Stick) dari Tanah Suci Mekkah yang seperti lidi-lidi yang panjang dan ujungnya dibalut dengan bahan dupa. Tercium aroma wangi yang cukup lama bertahan ketika aku menyimpan dupa itu dalam lemari. Ibu pun tak lupa membawa pulang ‘oleh-oleh’ dupa bak lidi itu untuk di berikan kepada siapa pun.

Banyak upacara keagamaan menggunakan dupa. Dupa juga digunakan untuk pengobatan. Dupa ada dalam berbagai bentuk dan proses. Namun dupa dapat terbagi menjadi ‘pembakaran langsung’ dan pembakaran tidak langsung’ tergantung bagimana dupa digunakan. Suatu bentuk tergantung dari budaya, tradisi dan rasa seseorang. Dupa atau hio atau kemenyan adalah sebuah material yang mengeluarkan bau  yang mengeluarkan bau yang mengeluarkan asap ketika dibakar.

Mempergunakan dupa dalam keseharian olehku yang berupa dupa lidi itu, sekiranya persediaan yang cukup banyak. Berbeda dengan dupa kemenyam yang tak pernah terjamah olehku untuk dipergunakan dalam keseharian. Aroma wangi dupa pun lebih tercium olehku dibandingkan dengan dupa kemenyam yang disimpan oleh Ibu. Tak kutemui lagi dupa kemenyam, Entah … Hanya Ibu yang tahu sekiranya masih tersimpan, mencari atau menemukan tanpa sengaja.

Apakah aku ingin melanjutkan Ritual Ibu?” Akh, aku berguman

Kebersamaan yang terlalui bersama Ibu pun, membawa aku sejenak merenungi kebiasaan Ibu. Tak dipungkiri akhirnya apabila sekiranya sebagai penerus Ibu pun terbersit melanjutkan tradisi ritual dupa. Meskipun demikian sebuah perjalanan hidup oleh waktu yang menemani setiap insan tak serta merta siapapun tahu sebuah tradisi akan hidup terus atau bahkan mati. Seyogyanya mahluk tak pernah luput dari kata binasa akhirnya dan membutuhkan ketahanan diri agar terhindar dari kepunahan. 

Ritual dupa tak sering lagi berlangsung yang akhirnya seiring waktu berjalan seakan redup di kekinian, tak seperti biasa lagi, lazim pada momen-momen, waktu-waktu tertentu. Aku pun tak menemukan dupa namun wangi dupa seakan tercium di kekinian. Wadah Dupa kini tergeletak entah dimana … ritual tak lagi  berlangsung terkikis oleh waktu dan terlupakan oleh gerak kehidupan yang tanpa jeda.

–Selamat Membaca-


3 komentar:

  1. Pengobatan tradisional, ya. Apa masih ada yang menjalankannya?

    BalasHapus
  2. Telah ikut bedah cerpen oleh Pecandu Aksara,Tipografi 'typo' dan tanda baca diperhatikan untuk hasil karya terbaik.

    BalasHapus

KEMBALI BERSUA, HEY! MANADO CITY

Menyaksikan Pasutri Gaje, menarik untuk tak melewatkan film Pasutri Gaje yang berlatar belakang cerita, kisah dan kehidupan sepasang abdi ne...