Kamis, 29 Desember 2016

BEDAH BUKU (Bincang Literasi)



Ketidaksempurnaan #Inspirasi Bunda

Perjuangan tak terbatas Hj. Sri Rahmi, S.A.P., M.Adm.,K.P dalam buku yang berjudul #Inspirasi Bunda karya Faisal Syam ini sengaja dibuat ‘penuh’ kekurangan.  Faisal Syam sebagai penulis buku ini yang mengemukakan demikian ketika berlangsung bedah buku tepat dimomen Hari Ibu, 22 Desember 2016 di Graha Pena Fajar Lt.4. Bedah buku Inspirasi Bunda akhirnya ‘hujan kritik’. Keberagaman kritik  tertuju tak terkecuali bagi ‘Bunda’ Sri Rahmi yang melalui judul buku ini terlihat bahwa ‘gelar’ Bunda tersematkan pada beliau. 

Sebagai salah satu peserta yang hadir dari group Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN) membuat bedah buku ini sebagai momen pribadi dalam rangka memperingati Hari Ibu. Suka cita yang tak tersembunyikan sebagai perempuan yang rindu akan kedekatan personal  terhadap kaum-kaum perempuan inspirasi.  Bahkan tercetus dalam sanubari sejak lama keinginan menjadi perempuan yang mampu memberi  inspirasi bagi kaum perempuan  pun. Pandangan pertama terhadap buku ini pun berawal dari kata inspirasi dengan judul  Inspirasi Bunda.

Berawal dari sampul yang ‘full colour’ warna pink selentingan kritik  seperti warna valentine day. Demikian kata bunda pun sebagai gambaran penyematan ‘gelar bunda’ pada Ibu Sri Rahmi yang  dalam pengertian ‘Bunda’ di mata dunia. Hal ini terjawab akhirnya dalam judul tulisan berikut Ibu , Benteng Keluarga. Dinyatakan bahwa Bunda, Ibu, Ummi, Mama, Indo, Mimi, Mom, adalah sebuah peran dengan variasi panggilan yang berbeda, sesuai adat, budaya, ataupun selera. Sebuah sebutan untuk sebuah peran yang didalamnya banyak tugas.

Mengemuka bahwa unsur kesengajaan dalam penyusunan buku ini terlihat melalui gambar pisang goreng yang tidak memenuhi piring sajian. Menarik, sebuah gambaran sajian makanan sebagai bentuk ‘kekurangan’ penulis  yang tak luput dari kesalahan penulisan. Gambar pisang pipih (bahasa bugis pisang peppe) dan pisang goreng lengkap dengan sambal ‘cobek-cobek’, menyimpan makna yang tersirat. Luput dan tak luput pun pembaca ‘menangkap’ makna yang tersirat atau menemukan makna yang ‘sembunyi’ di balik gambar, tetap menjadi suguhan selera makanan khas lokal atau daerah setempat di Sulawesi Selatan. 

Merdeka Itu … Kalau Tak Impor,  Demikian Judul pertama yang dilengkapi gambar pisang seperti yang telah tersebutkan di atas. Menelisik akhirnya bahwa posisi gambar yang telah sesuai peruntukkan terhadap pesan yang ingin disampaikan sejak awal dari penulis. Sekaligus menarik perhatian pembaca, pendekatan kreatif terhadap pembaca dari daya kreasi pikir yang akhirnya tercipta oleh penyusun, penulis buku ini. Boleh dikatakan pun pesan gambar tertulis yang akhirnya berhasil membuat pembaca ‘gagal fokus’ dalam bahasa dikekinian.  

Selanjutnya yang sempat terekam pula perihal Kanjeng Tidak Taat!! Pada Sub bab pertama  yang menuai kritik. Bahwa gambar kegiatan Ibu Sri Rahmi yang berjalan di titian atau jembatan kayu dengan beberapa orang tidak memiliki ‘benang merah’ dengan judul terkait Kanjeng Taat!!. Meskipun demikian isi tulisan ini menjadi sebuah ‘pencerahan’ bagi pembaca untuk pengetahuan serta pemahaman yang tak sulit ditangkap oleh pembaca dari berbagai kalangan termasuk pembaca ‘awan’.

Terlihat penggalan kalimat sebagai berkut yang berbunyi … adalah korbannya dari kalangan orang-orang “besar”. Besar UANGnya, besar ILMUnya. Paragraf berikut … tapi pada AKIDAH korban sang Kanjeng. Sepenggal kalimat pembuka dari bagian paragraf akhir … Mungkin karena ‘keimanan’ nya yang ditempatkan pada posisi yang SALAH. Sesuatu penekanan beberapa kata terlihat melalui penulisan huruf kapital sebagai ‘warning’ bagi pembaca pada umumnya. 

Temuan baru bagi pribadi sendiri bahwa melalui buku ini tanda tanya terrjawab bahwa salah satu penggagas Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok di Kota Makassar. Bersama beberapa politisi perempuan lain memperjuangkan  gagasan perda tersebut sewaktu menjabat sebagai legislator di DPRD Kota Makassar. Kota Makassar menjadi satu-satunya kota yang mempunyai perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Sulawesi Selatan. Demikian tertulis judul Lahirkan Perda Anti Rokok pada Sub bab ketiga, olehnya ‘setitik’ pengetahuan  bagi diri sendiri

Tak cukup menjadi inspirasi namun ‘hanya’ sebagai buku ‘dokumen’ merupakan kritik tajam, salah satu pembedah buku. Mengemuka dengan ‘gamblang’ menyampaikan apresiasi bahwa mengenal dekat secara personal ‘Bunda’ Sri Rahmi. Gambaran  sebagai  Pemilik Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), tak ditemukan ‘Bunda Rahmi’ dalam buku tersebut. Tak ketinggalan kritik dari diri sendiri perihal buku #Inspirasi Bunda bahwa ulasan khusus narkoba sebagai bab tersendiri tak ditemui. Tak cukup hanya tersentil karena “Darurat Narkoba” pun telah tersebutkan bagi para generasi pemuda-pemudi bangsa termasuk anak-anak.

Olehnya ‘Hujan Kritik’ pun tak serta merta tak memunculkan pujian, terbit #Inspirasi Bunda” yang pasti bukan hanya ditujukan buat pembaca kaum perempuan bahkan  kaum lalki-laki pun tergerak dan memiliki ‘semangat’ menulis, mengemuka ketika sesi tanya jawab berlangsung. Menarik perhatian kaum adam pun masih pada Sub Bab pertama berjudul Fatherless Country dan menjadi  perbincangan ‘serius’ bahkan perdebatan ‘hangat’ pada forum bedah buku ini. Bak oase di padang pasir, menembus batas gender merupakan momen di penghujung tahun sekaligus kado awal tahun ini. Mengundang aksi dan reaksi kaum perempuan, #Inspirasi  Bunda hadir. Selamat Membaca-

Minggu, 25 Desember 2016

CERPEN



Ritual Dupa

Hening sejenak seiring rapalan doa-doa yang dibaca oleh seorang kakek, bersarung dan berpeci sambil duduk bersila memimpin ritual dupa. Aku pun turut serta menyaksikan kakek tersebut yang merupakan sosok yang sudah menjadi ‘pembaca’ doa khusus bagi Ibu selama ini. Aku tertarik perihal ritual dupa, aroma wangi kemenyan yang tercium dan menyengat menusuk hidung. Berasal dari dalam salah satu ruangan di suatu rumah yang kudiami, rumah tua dan cukup besar. Terletak di pojok jalan setapak, sebagai rumah peninggalan dari Ayah yang telah pergi sejak sepuluh tahun yang lalu. Tersebutkan olehku kini, rumah tanpa lelaki yang sejak kepergian  Ayah sekian lama.

Pasca panen raya, hasil panen yang melimpah akhirnya dapat dinikmati bersama. Luapan rasa syukur tak terkira yang mengundang Ibu pun mempersiapkan ritual dupa. Aroma dupa Ibu yang berasal dari kemenyan yang di letakkan dalam wadah dupa tercium kembali dari dalam rumah. Ibu pun tak melakukan ritual dupa lagi berbeda ketika Ayah masih hidup, tak pernah lelah melakukan ritual dupa sebagai ungkapan rasa syukur. Bagaimana tidak?” Perbedaan pandangan dalam memandang cara mengucapkan rasa syukur oleh karena kehadirat-Nya. Seperti biasa hanya ‘gertak sambal’ yang terdengar dari mulut sang Ayah dan tak ampuh mengalihkan pandangan Ibu.

Ritual dupa dalam mengarungi kehidupan pun tanpa sepengetahuan Ayah, tetap berlangsung. Bak ‘darah daging’ yang telah menggumpal kuat dan kokoh enggan terlepas bahkan tercabut  dari ‘akar’ sanubari Ibu. Ibu pun tak rela melepaskan kebiasaan turun-temurun dari leluhur sampai kini terbawa. Sampai akhirnya berpulang Ayah ke pangkuan Ilahi dan tak serta merta ritual dupa terhenti.  Tak seperti dulu, ketidakseringan ritual dupa justru terjadi di saat Ayah tak ada lagi, padahal alangkah leluasa dapat berlangsung tanpa halangan.
Ada apa gerangan?” Entah, hanya Ibu  yang tahu.

Lama tak terlihat, akhirnya ritual dupa kembali berlangsung dengan wadah dupa yang bukan terbuat dari tanah liat. Tak seperti dulu, wadah dupa yang terbuat dari kuningan berada digenggaman dan diisi dengan potongan-potongan kayu kecil serta sabut kelapa, lalu dibakar. Sebagai material yang mudah terbakar, meskipun demikian akan di beri sedikit siraman minyak tanah. Perbedaan wadah dupa pun mengundang tanda tanya pada diriku sendiri.
Apakah sesuai peruntukkan upacara keagamaan atau pengobatan ?”

Akh … entah, aku berguman.

Berlangsung pembakaran awal sampai akhirnya terlihat api membumbung dari dalam wadah dupa. Aku pun, ketika pertama kali menyaksikan ritual dupa berlangsung menghadirkan rasa was-was. Rasa takut tersentuh oleh nyala api sekiranya meletakkan wadah dupa pun dan mengangkat wadah dupa.  Menjauh sejenak dari wadah dupa demi menghindari hal-hal yang tanpa disadari rawan resiko tersentuh ‘jilatan’ api. Potongan-potongan kayu kecil  beserta sabut kelapa pun  ikut terbakar. Sedikit demi sedikit terlihat nyala api yang menyisakan bara-bara api dengan asap-asap mengepul tipis. Membuat sabut kelapa dan potongan kayu-kayu kecil sampai habis terbakar.

Menempatkan akhirnya wadah dupa ke ruangan yang telah ditentukan sebelumnya. Tak lupa, tetap menjaga agar bara-bara api tak hilang yang akhirnya hanya menyisakan arang pembakaran. Berlangsungnya ritual dupa ditandai dengan proses pembakaran yang dibiarkan terjadi secara alami, sejenak seiring waktu berjalan. Ritual pengobatan. asap membumbung tak dihiraukan demi rapal-rapal doa yang diucapkan untuk kesembuhan pemuda itu. Bersama merapalkan doa-doa.yang selanjutnya makan bersama dari sajian makanan dan lauk pauk serta minuman yang tergelar dibaki-baki. Baki khusus pun tersaji pada ruangan tertentu yang dianggap sebagai pusat pertengahan bagian dalam rumah.

Komat-kamit mulut seorang kakek yang membaca rapal-rapal doa yang melakukan pengobatan kepada seorang pemuda kampung Didera penyakit sejak kecil, dari dulu menjadi bawaan dan tanpa di sadari kambuh setiap saat.. Terdengar selentingan kabar, oleh karena ketidakteraturan makan bahkan terkadang   mengabaikan perut yang keroncongan. Bahkan puncak dari keteledorannya yang akhirnya memanggil penanganan serius dari team medis ketika secara tiba-tiba gejala keracunan pun hinggap dengan rasa mual disertai muntah.

Alternatif pengobatan pun di sentuh demi kesembuhan,dengan melakukan ritual dupa. Tanpa sengaja aku menemukan kemenyam Ibu yang tersimpan sejak lama. Tak pernah terpikirkan olehku bahwa sesuatu yang selama ini asing, terlihat olehku. Kemenyan, bahkan memberi kesan yang tertinggal sebagai sesuatu yang ‘keramat’ atau ‘angker’. Ritual dupa pun membutuhkan kemenyam yang dimasukkan ke dalam wadah dupa yang  berbara api . Terlihat, seperti batu yang telah pecah-pecah meskipun tak seperti kerikil namun agak lebih besar dari kerikil, sejumput gula pasir pun ikut dimasukkan dalam wadah dupa.  Sedikit yang Aku ketahui perihal ritual dupa, sampai akhirnya mencari dan mempertanyakan.

Sejenak pikiran liarku melanglang buana yang membuka memori ketika menerima ‘oleh-oleh dupa berupa ‘kembang api’.  Dupa lidi (Incense Stick) dari Tanah Suci Mekkah yang seperti lidi-lidi yang panjang dan ujungnya dibalut dengan bahan dupa. Tercium aroma wangi yang cukup lama bertahan ketika aku menyimpan dupa itu dalam lemari. Ibu pun tak lupa membawa pulang ‘oleh-oleh’ dupa bak lidi itu untuk di berikan kepada siapa pun.

Banyak upacara keagamaan menggunakan dupa. Dupa juga digunakan untuk pengobatan. Dupa ada dalam berbagai bentuk dan proses. Namun dupa dapat terbagi menjadi ‘pembakaran langsung’ dan pembakaran tidak langsung’ tergantung bagimana dupa digunakan. Suatu bentuk tergantung dari budaya, tradisi dan rasa seseorang. Dupa atau hio atau kemenyan adalah sebuah material yang mengeluarkan bau  yang mengeluarkan bau yang mengeluarkan asap ketika dibakar.

Mempergunakan dupa dalam keseharian olehku yang berupa dupa lidi itu, sekiranya persediaan yang cukup banyak. Berbeda dengan dupa kemenyam yang tak pernah terjamah olehku untuk dipergunakan dalam keseharian. Aroma wangi dupa pun lebih tercium olehku dibandingkan dengan dupa kemenyam yang disimpan oleh Ibu. Tak kutemui lagi dupa kemenyam, Entah … Hanya Ibu yang tahu sekiranya masih tersimpan, mencari atau menemukan tanpa sengaja.

Apakah aku ingin melanjutkan Ritual Ibu?” Akh, aku berguman

Kebersamaan yang terlalui bersama Ibu pun, membawa aku sejenak merenungi kebiasaan Ibu. Tak dipungkiri akhirnya apabila sekiranya sebagai penerus Ibu pun terbersit melanjutkan tradisi ritual dupa. Meskipun demikian sebuah perjalanan hidup oleh waktu yang menemani setiap insan tak serta merta siapapun tahu sebuah tradisi akan hidup terus atau bahkan mati. Seyogyanya mahluk tak pernah luput dari kata binasa akhirnya dan membutuhkan ketahanan diri agar terhindar dari kepunahan. 

Ritual dupa tak sering lagi berlangsung yang akhirnya seiring waktu berjalan seakan redup di kekinian, tak seperti biasa lagi, lazim pada momen-momen, waktu-waktu tertentu. Aku pun tak menemukan dupa namun wangi dupa seakan tercium di kekinian. Wadah Dupa kini tergeletak entah dimana … ritual tak lagi  berlangsung terkikis oleh waktu dan terlupakan oleh gerak kehidupan yang tanpa jeda.

–Selamat Membaca-


Kamis, 22 Desember 2016

CERPEN



Senja Di Losari
Lagu si anak pantai terdengar kini, alunan irama dan musik pantai mengiringi gerakan liukan ombak-ombak air pantai nan indah dan cantik. Kota yang memiliki pantai nan indah ini yang sejak dulu sampai kini mengundang decak kagum pelancong dari penjuru negeri. Pesisir kota nan cantik di tepian pantai oleh hembusan angin sepoi-sepoi ‘Angin Mamiri’ sebutan bahasa daerah setempat, angin di kota tercinta.
Pantai dan ombak ibarat sepasang sejoli yang tak terpisahkan, mengundang keirian yang memandang seakan ingin merebut rasa yang tersaji untuk dinikmati. Pesisir pantai tersapu ombak pada tanggul penahan yang kokoh, menyentuh bebatuan-bebatuan yang menyusun tanggul. Pandangan mata mengikuti deru-deru ombak yang cukup keras, menepi dan melepaskan percikan-percikan gelombang-gelombang air yang memecah.
Muda-mudi, tua dan muda tak jemu-jemu bertandang ke pantai di kota ini, revitalisasi pantai yang tak terhindar pun, tak menyurutkan keinginan untuk berkunjung. Pantai salah satu ikon wisata kota ini, sebagai destinasi favorit warga kota. Melewati malam minggu yang disebut malam panjang, tak pernah sepi oleh pengunjung untuk menciptakan kenangan yang tak terlupakan.
Malam demi malam terlewati, jalan-jalan menyusuri pantai tak terjamah. Kesendirian enggan beranjak yang tiada membawa diri ke pantai untuk mencipta kenangan. Kisah demi kisah tercipta, cerita demi cerita terdengar,  dan jauh semakin jauh diri tak menuju pantai. Entah …, hanya menyusuri jalan-jalan di depan pantai nan cantik, menatap kejauhan pantai yang tak berujung, akhirnya. Pantai, aku dekat dan nun jauh kau di sana nan indah biru airmu, sejuk di mata, tak jemu-jemu engkau dipandang Pantai Losari.
“Aku si anak pantai?’’ tanya dalam diri
“Bukan!” jawab diri, sendiri..
“Aku rindu, pantai!” berguman sendiri.
“Kota tercinta, kota pesisir pantai”, ujarku dalam hati.
“Aku kembali ke Pantai, mendekatimu di kekinian”, jawabku ke padamu.
Entah …. sejak kapan kutersadar aku berasal dari kota tepian pantai, sejak kutinggalkan kota tercinta tak pernah kupingkiri kenangan yang tak tercipta pun di Pantai kota asalku. Kupergi menjauh, mengangkat kaki, melangkah kaki dan membawa jiwa petualangan bak pengembara yang mengembara.
Menemukan kota tepian pantai di luar sana yang membuat rasa menikmati kehidupan yang sungguh tiada dapat tergantikan oleh  momen-momen yang kini terlalui. Mencipta kenangan justru di tepian pantai luar kotaku tercinta, menyusuri sisi-sisi berpasir pantai, duduk di sisi-sisi dudukan tanggul pantai, menikmati senja namun entah kenapa, tak kukenali warna nan cantik itu.
Sisi terluar tanggul di pantai tersaji. Pemandangan yang tak  asing di mata yang sejak dulu pantai ini dikenal memiliki ‘restoran terpanjang’. Sejak revitalisasi pantai yang menyisakan sedikit kesan bahwa  ‘restoran terpanjang’  pernah hadir   oleh penjaja makanan dan minuman dari pedagang kaki lima (PK5).
Pulang, kerinduan tak tertahankan pun olehku untuk mengujungi pantai losari nan indah di kotaku. Meskipun aku suka senja, entah … senja tak membawaku ke pantai, aku merindukan pantai. Tak kukenali awalnya warna senja, tanpa menunggu senja pun diriku, sepi pun tak terasa olehku. Kembali ke kotaku, akhirnya bertemu kembali denganmu dan emgkaupun masih berdiam diri di kotaku
“Apa yang terjadi di Pantai Losari ini?”, Tanyaku
“Merekatkan kisah,”, Jawabmu
Aroma rokok dan kopi tercium menusuk hidung, seduhan kopi panas pesanan dari jejeran menu minuman yang berseliweran di pinggir-pinggir jalan. Tak jemu-jemu menyeruput kopi berbarengan dengan isapan rokok, menikmati aroma pantai, menghirup asap rokok yang tak mungkin dapat dihindari olehmu. Bayangan aroma wangi kopi yang disangrai di pemukiman pegunungan  yang pernah terkunjungi olehmu  menyisakan aroma yang tak hilang di benak sampai kini. Filosofi kopi pun tergiang olehku sebagai wejangan hidup.
Seketika senja telah nampak disaat kamu tak beranjak dari tempatmu berdiri, menanti senja,  menatap senja sampai tiba malam datang dengan gelapnya warna alam yang semakin misterius di matamu. Kaupun menikmati warna senja yang jingga yang sungguh menjadi bagian dari dirimu, kesendirian dalam kesepian, warna jingga nan indah di matamu. Pemburu senja tepatnya, entah …. pantai nan cantik membawamu sebagai pemburu senja kini.
Kenangan demi kenangan tercipta di tepian pantai, terbawa dalam setiap langkah kakimu. Sedangkan aku mencipta kenangan di pantai luar kotaku, mencipta kenangan pada pantai yang berbeda. Pulang ke kotaku berarti pulang kembali ke rumah, menjadi anak rumahan dan akhirnya membawa diriku menanti senja dan melihat senja terindah dan terdekat di rumah pun. Kesendirian tidak memberi rasa sepi,  ketakutan akan sepi yang hadir membuat aku tak ingin merasa sepi, akhirnya.
Kurang lebih lima tahun yang lalu waktu yang cukup lama sejak bertemu pertama kali, menyisakan ketidakakraban yang mengundang tanya tiada henti. Tanpa pamit antara kamu dan aku, aku hanya diam tanpa beranjak dan kamu ketika itu beranjak pergi melangkah, jauh.
“Kotaku adalah rumah keduamu,” Katamu
“Iya, kota mencipta dan merekat kenangan,” Kataku
“Iya, betul,”Jawabmu
Senjapun datang, sunset … aku tak beranjak dari rumah, anak rumahahan melekat didiri, . meskipun jenuh. Entah … sebuah status tertuliskan dengan senja di sore itu menjadi kenangan,  senja terindah terlihat tanpa beranjak dari rumah. Senja mendekat dan kaupun mendekat, terkadang senja semakin menjauh dan tak terlihat olehku. Warna senja nun jauh pun membuatku akhirnya menyukai  jingga
Pemburu senja, keinginan untuk tak jemu-jemu mengikuti dan memburu senja. Senja dimana-manapun bewarna jingga, entah… tak henti-henti terpotret oleh pecinta senja, efek warna yang berbeda-beda tercipta. Keindahan yang tak terkira di mata sampai ke dalam sanubari mebawa kembali pecinta senja untuk terus melihat senja sepanjang waktu meskipun bertaruh nyawa.
Akh,” tumben kamu ke sini, ke pantai, “Katanya.
“Nah … iya, kenapa?’’ Kataku balik
“Kau suka senja, akhirnya,” Katanya
Iya, “ jawabku mengiyakan.
“Kau ingin mencipta kenangan denganku,” Katanya
“Denganku! “Kataku balik.
Meskipun warna senja nun jauh, warna senja telah nampak di kekinian, olehku. Mendekati senja bertemu denganmu, bersama denganmu membuat semakin terlihat warna senja nun jauh itu. Mencipta kenangan kembali dari kenangan yang terekat olehmu. kenangan – kenangan lama yang tersisa olehmu, kenangan demi kenangan dibuang sayang.
Apa dan siapa?”, misteri sampai kini.
Kutemukan jingga dalam seribu tanya oleh  penyuka senja, pecinta senja, pemburu senja, pemotret senja, mengikuti warna senja kemanapun, warna yang saban hari setia menengelamkan sinar warna matahari. 
Aku melihatmu untuk kesekian kali berikut, engkau tak bergeming dari pantai ini yang enggan beranjak dari tempatmu berdiri di pantai di kota ini. Aku membuat matamu tak berkedip dan berbalik ke arahku, tatap melihatku, Pertemuan singkat, perkenalan singkat, begitu singkat, tanpa menyisakan kenangan.

KEMBALI BERSUA, HEY! MANADO CITY

Menyaksikan Pasutri Gaje, menarik untuk tak melewatkan film Pasutri Gaje yang berlatar belakang cerita, kisah dan kehidupan sepasang abdi ne...